KH Hasyim Asy'ari merupakan ulama Indonesia yang pada abad kedua puluh terkenal dengan pengajian kitab Shahih al-Bukharinya. Di pesantren Tebuireng, Jombang, setidaknya setiap bulan puasa diadakan pengajian kitab ini hingga khatam. Beliau adalah murid seorang ulama Nusantara terkemuka yang dikenal sebagai ahli fikih dan ahli hadis, yaitu
HasyimAsy'ari. Irhas B September 5, 2016. KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri NU) Punya Sanad ke ilmuan yang bersambung sampai Rasulullah SAW, berikut Sanad nya, dengan cara baca nomer diatas adalah Guru dari nomer dibawah nya. 1. Sayyidul Wujud Insanul Kamil Nabi Muhammad Rasulullah SAW. 2. Al Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib "Karramallaahu
KaryaHadlratusysyaikh KH.Hasyim Asy'ari (1287H-1366H) اِعْلَمْ أَنَّ فِي الْأَخْذِ بِهَذِهِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ مَصْلَحَةً عَظِيْمَةً وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُلِّهَا مَفْسَدَةً كَبِيْرَةً
Vay Tiền Online Chuyển Khoản Ngay. As-sanadu minad dîn. Sanad adalah bagian dari agama. Jika saja tiada sanad maka seseorang bisa berpendapat semaunya. Demikianlah pendapat Abdullah bin Mubarak. Jadi sanad inilah yang membedakan antara keilmuan agama Islam dan keilmuan sekuler. Pada awal masa perkembangan Islam, sanad diberlakukan hanya dalam periwayatan Al-Qur’an dan Hadits. Namun pada masa belakangan, sanad juga digunakan dalam periwayatan kitab-kitab karya ulama salaf. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari adalah orang pertama yang menyelenggarakan kajian hadits dan juga tradisi sanad di Indonesia. Demikian sebagaimana pernah dijelaskan KH M Tolchah Hasan dalam suatu kesempatan bedah pemikiran KH Hasyim Asy’ari di Universitas Islam Malang pada tahun 2014. Kiai Tolchah juga menjelaskan, KH Hasyim Asy’ari membawa tradisi sanad ini dari Syekh Mahfud Termas. Kita mengetahui bahwa Syekh Mahfud Termas, sebagaimana dijelaskan sejarawan Abdurrahman Mas’ud dalam bukunya “Intelektual Pesantren”, adalah pemegang sanad terakhir the last link Al-Bukhari. Namun demikian, bukan berarti bahwa KH Hasyim Asy’ari hanya mendapatkan sanad Sahih Bukhari saja dari Syekh Mahfud, melainkan juga sanad Kutubus Sittah. Juga sanad kitab-kitab lain termasuk kitab-kitab fiqih Madzahib Arba’ah Mazhab Empat. Jadi pantaslah jika Nahdlatul Ulama menyatakan dirinya bermazhab kepada salah satu imam empat. Berikut ini kami sajikan sanad kitab Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Al-Imam Al-Hafidh Abi Dawud Sulaiman bin Asy’ats As-Sajistani radliyallahu anhu. Kitab ini juga adalah salah satu kitab yang banyak dikaji di pesantren. Kitab KIfâyatul Mustafid li Mâ alâ minal Asânid karya Syekh Mahfudh At-Tirmisi memaparkan rantai sanad tersebut. Terkait kitab Sunan Abi Dawud, KH Hasyim Asy’ari mendapatkan hadits dan ijazahnya dari Syekh Mahfudh At-Tirmisi, beliau mendapatkan dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Al-Madani, beliau mendapatkan dari Syekh Abdul Ghani bin Abi Sa’id Al-Umari w. 1296 H, beliau mendapatkan dari Syekh Abid Al-Anshari w. 1257 H, beliau mendapatkan dari Sayaikh Abdirrahman bin Sulaiman Al-Ahdal 1250 H, beliau mendapatkan dari Ayahnya, yiatu Sayyid Sulaiaman bin Yahya Al-Ahdal 1197 H, beliau mendapatkan dari Sayyid Ahmad bin Maqbul Al-Ahdal w. 1163 H, beliau mendapatkan dari Sayyid Yahya bin Umar Al-Ahdal w. 1147 H, beliau mendapatkan dari Sayyid Abi Bakar bin Ali Al-Ahdal, beliau mendapatkan dari Sayyid Yusuf bin Muhammad Al-Ahdal, beliau mendapatkan dari Sayyid Thahir bin Husain Al-Ahdal, beliau mendapatkan dari Al-Hafidh Abdurrahman bin Ali Ad-Dayba’ As-Syaibani, beliau mendapatkan dari Az-Zain As-Syarji, beliau mendapatkan dari Sulaiman bin Ibrahim Al-Alawi, beliau mendapatkan dari Ali Abi Bakar bin Syaddad, beliau mendapatkan dari Abil Abbas Ahmad bi Abil Khair As-Syamakhy, beliau mendapatkan dari Ayahnya, yakni Syekh Abil Khair As-Syamakhi beliau mendapatkan dari Sulaiman bin Aqil Al-Asqalani, beliau mendapatkan dari Nashr bin Abil Faraj, Al-Hashari, beliau mendapatkan dari An-Naqib Abi Thalib ibn Zaid Al-Alawi, beliau mendapatkan dari Abi Ali At-Tustari, beliau mendapatkan dari Al-Qasim bin Ja’far Al-Hasyimi, beliau mendapatkan dari Abi Ali Muhammad bin Ahmad Al-lu’lu’iy, beliau mendapatkan dari Al-Imam Al-Hafidh Abi Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sajistani. Penyusun kitab Sunan Abi Dawud. R. Ahmad Nur Kholis, Alumni Pascasarjana Universitas Islam Malang Unisma
Canada imposes sanctions against Iran “for a systematic violation of human rights”, Russian media write., the commander of the Islamic Revolution Corps, Hossein Salahi and the commander of the special purpose of Al-Kuds, Ismail Kaani, fell under the sanctions.
The current problem of education is the low morality and bluntness of rationality. This morality problem as well as rationality should be the encouragement of researchers to examine the thoughts of Hasyim Asy'ari as a thinker who has great concern for the education and morality of the Ummah. This figure titled Hadratussyaikh poured his thoughts through a classic book taught at the salaf pesantren. One of his phenomenal works is the book Adab al- Alim wa Muta’allim. This article aims to explore the lineage of thought of Hasyim Asy'ari in the context of educational thinking. The method used is a study of historical analysis. This study produced three findings; first, the genealogy of educational thought of Hasyim Asy'ari was formed by a touch of the thoughts of ulama directly forming the religious views of Hasyim Asy'ari such as the thoughts of Khalil Bangkalan, Nawawi al-Bantani, Mahfudz at-Tirmisi and Khatib Minangkabawi; second, Hasyim Asy'ari's educational thought relations were influenced by the thinking of medieval classical scholars traditionalism precisely by the thoughts of al-Ghazali and al-Zarnuji; thus it can be concluded that in studying science it is important to be selective in choosing teachers. because a good scientist cannot be separated from the guidance of good teachers. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 Analisis Jurnal Studi Keislaman P-ISSN 2088-9046, E-ISSN 2502-3969 DOI Volume 19. No. 1, Juni 2019, h. 1-26 Genealogi Pemikiran Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari Uswatun Khasanah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tejo Waskito Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Islam Lampung tejowaskito Abstract The current problem of education is the low morality and bluntness of rationality. This morality problem as well as rationality should be the encouragement of researchers to examine the thoughts of Hasyim Asy'ari as a thinker who has great concern for the education and morality of the Ummah. This figure titled Hadratussyaikh poured his thoughts through a classic book taught at the salaf pesantren. One of his phenomenal works is the book Adab al- Alim wa Muta’allim. This article aims to explore the lineage of thought of Hasyim Asy'ari in the context of educational thinking. The method used is a study of historical analysis. This study produced three findings; first, the genealogy of educational thought of Hasyim Asy'ari was formed by a touch of the thoughts of ulama directly forming the religious views of Hasyim Asy'ari such as the thoughts of Khalil Bangkalan, Nawawi al-Bantani, Mahfudz at-Tirmisi and Khatib Minangkabawi; second, Hasyim Asy'ari's educational thought relations were influenced by the thinking of medieval classical scholars traditionalism precisely by the thoughts of al-Ghazali and al-Zarnuji; thus it can be concluded that in studying science it is important to be selective in choosing teachers. because a good scientist cannot be separated from the guidance of good teachers. Abstrak Problem utama pendidikan saat ini adalah rendahnya moralitas dan tumpulnya rasionalitas. Problem moralitas sekaligus rasionalitas ini mendorong peneliti untuk menelaah pemikiran Hasyim Asy’ari sebagai pemikir yang memiliki kepedulian besar DOI// terhadap pendidikan dan moralitas ummat. Tokoh bergelar Hadratush Syaikh ini banyak menuangkan pemikirannya melalui kitab klasik yang diajarkan pada pesantren salaf. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah kitab Adab al-Alim wa Muta’allim. Artikel ini bertujuan mengeksplorasi silsilah pemikiran Hasyim Asy’ari dalam konteks pemikiran pendidikan. Metode yang digunkan yaitu Kajian analisis historis. Penelitian ini menghasilkan tiga temuan; pertama, genealogi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari dibentuk oleh sentuhan pemikiran ulama-ulama secara langsung membentuk pandangan keagamaan Hasyim Asy’ari seperti pemikiran Khalil Bangkalan, Nawawi al-Bantani, Mahfudz at-Tirmisi dan Khatib Minangkabawi; kedua, relasi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari dipengaruhi oleh pemikiran ulama klasik abad pertengahan tradisionalisme tepatnya oleh pemikiran al-Ghazali dan al-Zarnuji; dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menuntut ilmu penting untuk selektif dalam mencari guru. karena seorang ilmuan yang baik tidak lepas dari bimbingan para guru yang baik pula. Kata kunci Adab, Hasyim Asy’ari, Genealogi, Pemikiran Pendidikan. A. Pendahuluan Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah menghasilkan manusia yang baik. Konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab yang meliputi kehidupan material dan yang diartikan “baik” dalam konsep orang baik yaitu unsur fundamental yang berkaitan dengan konsep penanaman adab, karena adab mencakup pengertian semuanya yang meliputi kehidupan spiritual dan material manusia. Pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia. Inilah yang dimaksud dengan ta’ pendidikan Islam saat ini sejatinya masih bermuara seputar anomali-anomali pendidikan klasik, yaitu rendahnya moralitas dan tumpulnya rasionalitas. Dewasa ini, banyak sekolah Islam yang secara moral belum memenuhi harapan, begitu juga dengan kualifikasi keilmuan yang masih di bawah standar kualitas pendidikan. Tujuan dan akhlak dalam menuntut ilmu yang bersifat religious ethic tentu sangat diperlukan dalam upaya pembentukan dan pembinaan moral yang saat Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam Bandung Mizan, 154. Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam Dan Sekularisme, trans. Karsidjo Djojosuwarno Bandung Ganesha, 1981, 175. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 ini tengah mengalami krisis. Penegasan kembali akan makna tujuan menuntut ilmu yang sesungguhnya hanya untuk mencari ridho Allah, setidaknya akan memperbaiki mindset peserta didik yang selama ini terkontaminasi oleh paradigma yang keblinger. Yaitu pandangan sebagian masyarakat yang menganggap bahwa menempuh pendidikan adalah untuk mendapatkan pekerjaan dan kedudukan semata. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar Indonesia yang cukup serius memperhatikan masalah pendidikan. Ulama pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ini lahir di Jombang pada tahun 1871. Selain sebagai seorang pejuang, Hasyim Asy’ari lebih dikenal sebagai ulama pembaru. Ia merupakan pembaru pendidikan satu kecemerlangan Hasyim Asy’ari dalam mengentaskan moralitas masyarakat pribumi adalah mengubah Tebuireng yang semula berupa daerah penuh kemaksiatan menjadi pesantren yang akhirnya menjadi rujukan pesantren seluruh Indonesia. Atas dasar kecerdasan yang dimilikinya, Hasyim Asy’ari juga pernah ditunjuk menjadi salah satu guru di Masjidil Haram bersama para ulama asal Indonesia. Diantaranya yaitu Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Khatib al-Minangkabawi yang kelak banyak mempengaruhi pemikirannya. Kedua ulama tersebut merupakan ulama yang di kenal di Timur Tengah karena keluasan ilmu dan karya-karyanya yang mengharumkan Tanah Air hingga sekarang ini. Keberhasilan Hasyim Asy’ari tak lain merupakan buah manis lantaran kesungguhannya dalam mengarungi lautan ilmu. Nahdlatul Ulama berdiri pada tanggal 31 januari 1926. Nahdlatul Ulama berarti kebangkitan para ulama. Latar belakang kelahiran NU dapat dilihat dari tiga aspek; pertama, dari aspek politik NU lahir sebagai organisasi kebangkitan ulama yang dimotori Hasyim Asy’ari. Pada level politik mikro, kelahiran NU dimotori oleh semangat nasionalisme melawan Belanda; kedua, dari aspek sosial budaya, berdirinya NU disebabkan oleh kekhawatiran para kiai terhadap tekanan, peminggiran, bahkan penghapusan terhadap tradisi kaum Sunni yang dilakukan oleh para pembaru seperti Muhammadiyah dan Persis dengan slogannya untuk memberantas TBC tahayul, bid’ah, khurafat serta menolak tradisi lokal seperti tahlilan dan ziarah kubur; ketiga, dari aspek keagamaan, NU lahir didasari oleh adanya kesadaran keagamaan para ulama untuk terus memelihara paham ahlusunnah wal jamaah dari ancaman yang dilakukan oleh pemerintahan Saudi yang mengusung gerakan puritanisme Wahabi; Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih “Tradisi” Pola Mazhab Yogyakarta Elsaq Press, 2010, 78–81. Muhamad Rifai, Hasyim Asy’ari Biografi Singkat 1871-1947 Jakarta Ar Ruzz Media, 2010, 13. DOI// Terkait dengan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama ini penulis menemukan beberapa hasil penelitian diantaranya Mahrus as’ad, tulisan ini menyelidiki gagasan dan usaha pembaruan pendidikan KH. Hasyim Asy’ari serta konstribusinya bagi pengembangan madrasah di tanah air. kesimpulannya bahwa kesetiaan Hasyim dalam usaha pembaruannya dengan tetap berpegang teguh pada tradisi dalam arti luas menghasilkan sebuah format baru pendidikan Islam, yang berguna dalam peletakan fondasi yang kuat bagi modernisme pendidikan Islam khas Indonesia. Keberhasilan Hasyim meramu unsur-unsur kemodernan dan tradisi pendidikan Islam dengan tetap menempatkan “nur ilahiyah” sebagai poros utamanya merupakan sumbangan terpentingnya, yang dengannya madrasah memiliki identitasnya sendiri, yang berbeda dengan sekolah umum, walaupun pemerintah telah “menasionalisasi” madrasah dengan menempatkannya setara dengan sekolah umum. Selanjutnya Apriadi putra, Tulisan ini membahas pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari dan kontribusinya terhadap kajian hadis di Indonesia. Selanjutnya Ahmad Khoirul Fata, M Ainun Naji, Tulisan ini mengkaji gagasan KH. Hasyim Asy`ari tentang persatuan umat Islam. Penelitian ini menemukan bahwa gagasan tentang persatuan umat Islam KH. Hasyim Asy`ari didasari oleh tauhid dan anti fanatisme dalam masyarakat Muslim. Kenyataan bahwa disintegrasi menjadi problem dunia Islam kontemporer telah membuat ide KH. Hasyim Asy`ari menjadi urgen, dan dapat menjadi solusi alternatif bagi problem umat tersebut. Dari beberapa hasil penelitian diatas terkait dengan Hasyim Asy’ari peneliti belum menemukan penelitian yang serupa tentang genealogi pemikiran Hasyim Asy’ari. Melacak akar sejarah bagaimana pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari terbentuk adalah penting untuk dilakukan. Setidaknya, terdapat dua alasan primordial yang melatarbelakangi penelusuran penulis untuk melacak akar sejarah bagaimana konstruksi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari terbentuk; pertama, genealogi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari tidaklah terbentuk oleh pemikiran yang monolitik. Dalam arti banyak tipologi yang mempengaruhi pemikiran Hasyim Asy’ari yang tidak hanya sama, tetapi juga bertentangan; kedua, tipologi-tipologi pemikiran tersebut tidak terlepas dari konteks sejarah yang mengitari perjalanan intelektual Hasyim Asy’ari, baik di Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 level regional maupun internasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kajian analisis historis. Siapa dan bagaimana guru-guru Hasyim Asy’ari mempengaruhinya sehingga menghasilkan konstruksi pemikiran yang brilian dalam karya-karyanya, termasuk gaya bahasa dan kekhasan karya-karyanya. Salah satu pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari yang tertuang dalam kitab Adabul Alim wa Muta’alim adalah larangan bagi para pelajar untuk mengkonsumsi makanan yang dapat menyebabkan kecerdasan akal seseorang menjadi tumpul dan bodoh serta melemahkan kekuatan organ-organ tubuh panca indera. Jenis-jenis makanan tersebut diantaranya buah apel yang asam, aneka kacang-kacangan, air cuka dan demikian, pemikiran Hasyim Asy’ari diatas menarik untuk ditelusuri. Artikel ini bertujuan mengeksplorasi silsilah pemikiran Hasyim Asy’ari dalam konteks pemikiran pendidikan. B. Genealogi Foucauldian Istilah genealogi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu γενεά, genea, yang artinya “keturunan” dan λγο, logos, yang artinya “pengetahuan”. Pada awalnya, genealogi merupakan kajian tentang keluarga dan penelurusan jalur keturunan sejarahnya atau disebut dengan istilah genealogi biologis. Ahli genealogi menggunakan berita dari mulut ke mulut, catatan sejarah, analisis genetik serta rekaman lain untuk mendapatkan informasi mengenai keluarga dan menunjukkan silsilah kekerabatan dari anggota-anggotanya. Hasil kajian dari genealogi sering ditampilkan dalam bentuk bagan atau di tulis dalam bentuk ahli membedakan antara “genealogi” dan “sejarah keluarga”. Mereka membatasinya bahwa genealogi hanya berhubungan dengan kekerabatan, sedangkan sejarah keluarga merujuk pada penyediaan detail tambahan mengenai kehidupan dan Hasyim Asy’ari, Adab al-Ālim Wa al-Muta’allim Fi Mā Yaḥtāju Ilaihi al-Muta’allim Fī Aḥwāl Ta’līmihi Wa Mā Yatawaqqafu Alaihi al Mu’Allim Fī Maqāmātihi Ta’limihi Jombang Maktabah At Turats Islami, 27. Rakhmad Zailani Kiki, Genealogi Intelektual Ulama Betawi Melacak Jaringan Ulama Betawi Dari Awal Abad Ke-19 Sampai Abad Ke-21 Jakarta Islamic Center, 2011, 19. DOI// konteks sejarah keluarga tersebut. Pada perkembangannya, genealogi yang tadinya merupakan bagian dari biologi kemudian masuk dalam kajian sosiologi, antropologi dan historiografi setelah secara filosofis dibahas tuntas oleh Michel Foucault 1926-1984.Menurut Yudi Latif, genealogi dapat didefinisikan dalam artian konvensional maupun Foucauldian. Dalam perspektif pertama, Genealogi didefinisikan sebagai studi evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini berguna untuk memperhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai intelektual antar-generasi inteligensia muslim di dalam perspektif kedua, genealogi merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian concerns masa kini. Dalam pandangan Foucault, sejarah selalu ditulis dari perspektif masa kini. Sejarah merupakan pemenuhan atas sebuah kebutuhan masa kini. Fakta bahwa masa kini selalu berada dalam sebuah proses transformasi mengandung implikasi bahwa masa lalu harus terus-menerus dievaluasi. Dalam artian ini, genealogi tak berpotensi untuk kembali ke masa lalu. Genealogi dalam artian ini berguna untuk memperhatikan dinamika, transformasi dan diskontinuitas dalam gerak perkembangan historis dengan tujuan memulihkan sebuah kontinuitas yang tak dalam perspektif Foucauldian berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal accidents, mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil the minute deviations. Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisi-kondisi sinkronik dan pada tumpang tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifat lokal. Dengan demikian, genealogi berupaya mengemas kembali sempalan-sempalan sejarah yang masih berserakan dan belum tersusun. Dalam perspektif double movement methodology yang pernah dipopularkan oleh Fazlur Rahman, penelusuran sejarah dilakukan Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 Bandung Mizan, 2005, 6–7. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 untuk mencari alternatif pemecahan atas problem aktual dengan cara melihat data masa lalu, yaitu mengambil ide atau pelajaran dari peristiwa masa lalu. Setelah mendapat ide dasar berupa pelajaran dari peristiwa sejarah, maka gerakan kedua adalah kembali ke masa sekarang untuk membuat kontekstualisasi pelajaran masa lalu sehingga bisa compatible dengan masa sekarang. Dengan demikian, cara kerja genealogi hampir senada dengan double movement methodology jembatan antara tradisionalisme dan modernisme. C. Biografi Intelektual Hasyim Asy’ari Berlatar belakang keluarga pesantren, perjalanan pendidikan Hasyim Asy’ari tidak berbeda jauh dengan kebanyakan muslim lainnya. Sejak kecil Hasyim Asy’ari belajar sendiri dengan ayah dan kakeknya Kiai Usman. Bakat dan kecerdasan Hasyim Asy’ari sudah nampak sejak diasuh keduanya. Karena kecerdasannya itu, dalam usia 13 tahun di bawah bimbingan ayahnya, Hasyim Asy’ari sudah mempelajari dasar-dasar tauhid, fiqh, tafsir dan Hasyim Asy’ari dalam mencari ilmu dimulai ketika Hasyim Asy’ari berusia 15 tahun. Tak kurang dari lima pesantren di Jawa Timur ia kunjungi. Karena rasa haus akan ilmunya begitu tinggi, akhirnya Hasyim Asy’ari menyeberang ke Pulau Madura. Di pulau inilah Hasyim Asy’ari bertemu dengan guru yang kelak mempengaruhi pemikirannya, yaitu Syeikh Kholil Bangkalan Madura. Muqowim, Genealogi Intelektual Saintis Muslim Sebuah Kajian Tentang Pola Pengembangan Sains Dalam Islam Pada Periode Abbasiyyah Jakarta Kementrian Agama RI, 2012, 360. Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan pada Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’idah 1287 H atau 14 Februari 1871 M, di Desa Gedang, Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari berasal dari Demak, dan Ibunya Halimah adalah putri dari Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Dari garis Ibu, silsilah keluarganya sampai pada Brawijaya VI, dan dari silsilah pihak ayah bertemu dengan Joko Tingkir Khairul Anam and other, EnsiklopeIa Nahdlatul Ulama Sejarah Tokoh Dan Khazanah Pesantren Jakarta Mata Bangsa dan PBNU, 2014, 80. Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari Yogyakarta LKIS, 2009, 16. Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih “Tradisi” Pola Mazhab, 91. DOI// Pesantren yang pernah disinggahi oleh Hasyim Asy’ari dalam pengembaraan keilmuannya diantaranya Pesantren Wonokoyo Probolingga, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis Semarang, Pesantren Kademangan Bangkalan Madura dan Pesantren Siwalan Surabaya. Di Bangkalan Hasyim Asy’ari belajar tata bahasa, sastra Arab, fiqh dan sufisme kepada Kiai Khalil selama 3 bulan. Sedangkan di Siwalan, Hasyim Asy’ari fokus belajar fiqh selama 2 tahun kepada Kiai Ya’kub. Bahkan, Hasyim Asy’ari juga pernah belajar bersama dengan Ahmad Dahlan Muhammadiyah saat mencari ilmu di puas belajar di tanah air, Hasyim Asy’ari kemudian pergi ke Hijaz untuk melanjutkan pendidikannya. Di Hijaz Hasyim Asy’ari belajar hadits di bawah bimbingan Syeikh Mahfudz dari Termas, Pacitan. Syeikh Mahfudz adalah ahli hadits sekaligus orang Indonesia pertama yang mengajar Shahih Bukhari. Dari Syeikh Mahfudz-lah Hasyim Asy’ari mendapat ijazah untuk mengajar kitab Shahih bawah bimbingannya, Hasyim Asy’ari juga belajar Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Ajaran tersebut diperoleh Syeikh Mahfudz dari Syeikh Nawawi dan Syeikh Sambas. Jadi, Syekh Mahfudz adalah merupakan orang yang menghubungkan Syekh Nawawi dari Banten dan Syekh Sambas dengan Hasyim Asy’ari. Pengaruh ini dapat ditemukan dalam corak pemikiran keilmuan Hasyim Asy’ari berlanjut kepada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Di bawah bimbingan Syeikh Ahmad Khatib yang juga seorang ahli astronomi, matematika dan al- Baiatul Rozikin and Other, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia Yogyakarta e-Nusantara, 2009, 246. Zuhairiwi Misrawi, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan Dan Kebangsaan Jakarta Kompas, 2010, 46–47. Guru besar yang sangat mempengaruhi jalan pikiran Hasyim Asy’ari ialah Syaikh Mahfudz At-Tarmisi yang juga mengikuti tradisi Syeikh Nawawi dan Syeikh Sambas. Nawawi al-Bantani 1813-1897 merupakan salah seorang ulama Jawa yang paling dikenal di Haramain. Banyak orang Indonesia belajar kepadanya dan kemudian menjadi kiai-kia besar di pesantren Jawa. Mereka membawa tradisi isnad dan silsilah ilmu pada masa peralihan dari tradisionalisme menuju modernisme. Diantara murid Imam Nawawi al-Bantani yang terkenal adalah Hasyim Asy’ari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia Jakarta Kencana Prenadamedia group, 2013, 395–96. Baiatul Rozikin and Other, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, 248. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 Jabar, Hasyim Asy’ari juga belajar fiqh madzhab Syafi’ Khatib tidak setuju dengan pembaharuan Muhammad Abduh mengenai pembentukan madzhab fiqh baru, sementara Hasyim Asy’ari hanya setuju pada pendapat Ahmad Khatib mengenai tarekat. Atas izin dari Ahmad Khatib-lah Hasyim Asy’ari mempelajari tafsir al-Manar karya selanjutnya, Hasyim Asy’ari menjadi pemimpin dari kiai-kiai besar tanah Jawa. Menurut Zamakhsari, setidaknya terdapat empat faktor penting yang melatarbelakangi watak kepemimpinan Hasyim Asy’ari. Pertama, Hasyim Asy’ari lahir di tengah-tengah Islamic revivalism baik di Indonesia maupun di Timur Tengah, khususnya di Mekkah. Kedua, orang tua dan kakeknya merupakan pimpinan pesantren yang punya pengaruh di Jawa Timur. Ketiga, Hasyim Asy’ari sendiri dilahirkan sebagai seorang yang sangat cerdas dan memiliki karakter kepemimpinan mumpuni. Keempat, berkembangnya perasaan anti kolonial, nasional Arab, dan pan-Islamisme di dunia tujuh tahun di Mekkah, pada tahun 1889 Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia untuk merintis sebuah pesantren. Hasyim Asy’ari membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Desa Tebuireng, 200 meter sebelah barat pabrik gula Cukir. Di sanalah Hasyim Asy’ari membuat bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat dari bangunan kecil inilah embrio pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan ini digunakan sebagai tempat mengajar dan shalat berjama’ah. Bagian belakang dijadikan sebagai tempat tinggal. Pada awalnya, jumlah santri yang belajar baru 8 orang, tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 pesantren Tebuireng dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas kondisi pengajaran dan pendidikan Islam di tanah air Misrawi, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan Dan Kebangsaan, 46–47. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai Jakarta LP3ES, 1994, 95. Humaidy Abdussami and Ridwan Fakla AS, Biografi 5 Rais Am Nahdlotul Ulama Yogyakarta LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995, 2. Anam and other, EnsiklopeIa Nahdlatul Ulama Sejarah Tokoh Dan Khazanah Pesantren, 84. DOI// yang menderita oleh tekanan penjajah. Sebagai bagian dari strategi menghancurkan Islam, pemerintah Belanda memaksakan kehendak dan pengaruhnya untuk membatasi pendidikan Islam pada aspek ritual dan mengurangi peranan ajaran Islam dalam masyarakat. Hal ini mendorong Hasyim Asy’ari untuk mengambil langkah serius ke arah perumusan metodologi dan pendekatan baru yang berangkat dari universalisme Islam dengan prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah. Hasyim Asy’ari kemudian mulai mengembangkan sistem pendidikan pesantren yang menjadi warisan umat secara turun-temurun sejak masa Wali Songo dengan fokus sasaran pembentukan kader ulama yang mampu menghadapi berbagai tantangan tahun 1919, pesantren Tebuireng diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah materi bahasa Indonesia Melayu, Matematika, dan Geografi. Lalu pada tahun 1926, pelajaran ditambah pelajaran bahasa Belanda dan Sejarah. Ribuan santri menyerap ilmu di Tebuireng. Akhirnya pada abad ke 20 jadilah Tebuireng menjadi pesantren yang paling besar dan penting di seluruh Jawa dan kealimannya, para Kiai tanah Jawa mempersembahkan gelar “Hadhratus Syeikh” kepada Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari semakin dikeramatkan ketika Kiai Kholil Bangkalan yang sangat dihormati oleh para Kiai tanah Jawa-Madura sebelum wafatnya memberikan isyarat bahwa Hasyim Asy’ari adalah pewaris kekeramatannya. Diantara isyarat tersebut yaitu ketika Kiai Kholil hadir di Tebuireng untuk mengikuti pengajian kitab hadits Bukhari Muslim yang disampaikan Hasyim Asy’ari. Kehadiran Kiai Kholil dalam pengajian tersebut diasumsikan sebagai petunjuk bahwa setelah meninggalnya Kiai Kholil, para Kiai di Jawa-Madura diisyaratkan berguru kepada Hasyim Asy’ Pembentukan Nalar Keislaman Hasyim Asy’ari Gagasan dasar pembentuk nalar keislaman Hasyim Asy’ari dipengaruhi oleh figure ulama yang secara langsung mempengaruhi Alwi Shihab, Islam Sufistik Bandung Mizan, 2001, 118. Anam and other, EnsiklopeIa Nahdlatul Ulama Sejarah Tokoh Dan Khazanah Pesantren, 84. Salahudin Wahid, Transformasi Pesantren Tebuireng Menjaga Tradisi Di Tengah Tantangan Malang UIN Maliki Press, 2011, 18. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 pemikiran pendidikannya. Dari sinilah geneologi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari bermuara, yaitu semenjak beliau mengalami mobilitas sosial-intelektual sebagai hasil persentuhannya dengan ilmu-ilmu keislaman yang diperoleh saat beliau nyantri di dalam negeri maupun di Timur Tengah. Ulama-ulama itulah yang dianggap sebagai embrio pembentukan pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari. Diantara ulama yang membentuk pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari adalah 1. KH. Khalil Bangkalan 1819-1925 Khalil Bangkalan merupakan ulama Madura dengan spesialisasi ilmu gramatikal Arab atau lebih dikenal dengan disiplin ilmu nahwu. Dalam usia yang masih tergolong bocah, Khalil muda telah mampu menghafal gramatika Arab berupa seribu bait puisi nazham alfiyah karya Ibn Malik M. Bahkan, Khalil dikenal memiliki kemampuan yang anti mainstream, yakni mampu menghafal bait nazham alfiyah secara terbalik atau dalam terminologi jawa disebut nyungsang. Karena kepiawaiannya itulah Khalil Bangkalan dikenal sebagai pakar bahasa Arab dan kelak orang juga mengkultuskannya sebagai tanah Jawa, Khalil Bangkalan memang dikenal sebagai seorang wali, walaupun ia tidak memimpin sebuah tarekat. Dalam tradisi pesantren, orang yang dianggap memiliki tingkat kesucian tinggi tidak semata karena keberhasilannya memimpin tarekat. Ketinggian spiritual seorang Kiai dapat dicapai melalui ketinggian ilmu dan kesalehannya di mata Tuhan. Selain dikenal wali, Kiai Kholil juga dikenal ahli Sastra Arab, Fiqh dan empat prinsip belajar yang merupakan produk pemikiran pendidikan Kholil Bangkalan dan kemudian termanifestasi dalam pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari, diantaranya adalaha Ikhlas karena Allah swt. Tidak peduli dengan pahit getirnya kehidupan saat belajar di pesantren, bagaimanapun bagi Kiai Kholil menuntut ilmu haruslah ikhlas. Karena pada saat itu yang Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2006, 183–84. Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, 92. Jamal Ghofir, Biografi Singkat Ulama Ahlusunnah Wal Jama’ah Pendiri Dan Penggerak NU Yogyakarta GP Ansor Tuban, 2012, 61. DOI// terpenting adalah ilmu dan puncak tertinggi adalah harapan atas ridha Allah terhadap ilmu yang diperoleh. b Puncak tertinggi ilmu adalah Akhlak kepada Allah swt. Selama Kiai Khalil tinggal di Makkah, ia selalu keluar dari Tanah Haram Makkah saat akan buang air besar. Ia merasa tidak sopan jika buang hajat di tanah suci. Ini menunjukan bahwa Kiai Kholil sangat tawadhu kepada Allah SWT. c Sikap Hormat ta’dhim, cinta dan patuh kepada guru. Sikap ini diterapkan tentunya setelah memiliki guru yang layak. Apapun akan ia berikan kepada gurunya untuk membantu dan membuat gurunya ridha. Bahkan, di hadapan gurunya, ia bersedia untuk diperintah melebihi budak di hadapan tuannya. d Rajin belajar karena mencintai ilmu. Dengan menggabungkan empat prinsip ini, Kiai Kholil berhasil mendapatkan ilmu dan keberkahan. Semua itu kemudian mengantarkannya pada derajat yang tinggi di hadapan Allah swt; yaitu sebagai ulama dan waliyullah. 2. Nawawi al-Bantani 1813-1897 Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama Syafi’iyyah. Dialah penjaga ajaran Syafi’i di Nusantara. Bagi Nawawi, menjadi seorang penganut Syafi’i bukan tanpa alasan. Mazhab Syafi’i dikenal lebih kompatibel dan dapat diandalkan, Malik lebih bersifat tengah-tengah, Abu Hanifah lebih massive, sedangkan Ahmad bin Hambal dipandang lebih saleh. Nawawi meninggalkan prinsip yang amat penting, yakni menjadi muqallid yang terus melakukan kajian dan kritis. Seandainya Nawawi melarang menjadi muqallid, maka para santri Jawa pada umumnya tidak akan pernah memuji tokoh Islam tradisionalis zaman modern, Imam Nawawi kerap di vis a vis-kan dengan Muhammad Abduh; tokoh pembaharuan Islam asal Mesir yang getol mengkritik Islam tradisionalis. Tidak diketahui apakah terdapat debat langsung antara Nawawi dan Abduh, namun keduanya memiliki rancangan dan memberikan kontribusi berupa sebuah frame work yang penting dalam memahami perbedaan yang muncul dalam Islam. Abduh lebih Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, 144. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 menaruh kepedulian terhadap isu-isu modern dan menawarkan beberapa gagasan-gagasan baru dalam fiqh, sementara Imam Nawawi lebih memberi perhatian pada isu-isu kehidupan sehari-hari, khususnya menyangkut masalah fiqh. Imam Nawawi merupakan perintis awal dari fiqh yang berorientasi kemasyarakatan. Lewat Nawawi al-Bantanilah Hasyim Asy’ari belajar ilmu fiqh dan memperoleh sanad tradisionalisme keislamannya. Imam Nawawi menghabiskan waktu 30 tahun di Makkah untuk mematangkan semua bidang ilmu Islam. Nawawi belajar pertama kali di bawah ulama besar seperti Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima dan sebagainya. Akan tetapi guru yang sebenarnya adalah orang Mesir, yaitu Yusuf Sumulaweni, Nahrawi serta Abdul Hamid selama itu di negeri Arab membuat Nawawi mampu membaca al-Qur’an secara sempurna dan menghafalnya. Ketika membaca naskah Arab semua huruf diucapkan dengan cara yang sangat Azra seperti dikutip Maragustam, Imam Nawawi sebagai ulama tidak saja mumpuni dalam bidangnya, tetapi juga disegani di kalangan dunia intelektualisme Indonesia maupun di kalangan dunia Timur Tengah dan ada tiga posisi utama yang membuat Imam Nawawi diperhitungkan banyak kalangan; pertama, sebagai ulama yang sangat produktif menulis dan mempunyai banyak karya; kedua, Nawawi merupakan salah satu pusat jaringan ulama dan pesantren. Hal ini dapat dilihat dari sejarahnya yang belajar di Makkah dan menjadi guru banyak santri disana. Hasyim Asy’ari termasuk ulama yang berguru kepadanya beserta beberapa ulama ternama di Madura. Disinilah Nawawi menjadi puncak sumber tradisi pesantren; ketiga, Nawawi merupakan ulama Jawa yang bermukim di Makkah yang banyak mendapat ilmu serta pengakuan dari dunia pendidikan Imam Nawawi terangkum dalam kualifikasi pendidik dan peserta didik yang lebih menitik beratkan pada Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19 Jakarta Bulan Bintang, 1984, 118. Maragustam, Pemikiran Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani Yogyakarta Datamedia, 2007, 106. DOI// nuansa etika keagamaan dibandingkan kualifikasi keilmuan. Nuansa etika keagamaan nampak pula pada etika pendidik dan etika bersama, pendidik dan peserta didik. Kualifikasi pendidik dan peserta didik tergambar jelas pada bingkai keagamaan sebagai titik sentralnya. Peserta didik tidak boleh bicara jika tidak diminta untuk berbicara, tidak mengemukakan pendapat yang berbeda dengan pendapat pendidiknya, tidak bertanya kepada pendidik ketika pendidik kurang dalam tujuan pendidikan, Imam Nawawi cenderung menjadikan tujuan keagamaan sebagai tujuan pendidikan, sekalipun porsi rasionalnya tetap ada. Oleh karena itu, para pendidik mengarahkan segala potensi diri menuju ke arah tujuan tersebut. Dalam menuntut ilmu, peserta didik harus bertujuan agar memperoleh ridha Allah dan memperoleh kehidupan di akhirat, menghilangkan kebodohan, menghidupkan agama dan mengabadikan Islam dengan ilmu. Menuntut ilmu jangan sampai bertujuan agar dijadikan sebagai kiblat orang banyak atau memperoleh keuntungan dunia semata dan jangan pula bertujuan agar terhormat di mata penguasa atau orang Mahfudz at-Tirmisi w. 1338/1919 Mahfuz at-Tirmisi merupakan guru Hasyim Asy’ari dengan spesifikasi ilmu hadits. Karya Syeikh Mahfudz dalam bidang hadits yaitu, Manhaj Zhawi An-Nazhar, sebuah tafsir yang cukup rinci atas Manzhumat Ilm al-Atsar karya Abd Ar-Rahman As-Suyuti ditulis dalam waktu 4 bulan 14 hari. Kitab setebal 302 halaman ini sebagian besarnya dikerjakan di Mekkah pada tahun 1329/1911. Sebagaiannya lagi di tulis ketika berada di Mina dan Arafat sebagaimana dinyatakan sendiri olehnya pada waktu menunaikan ibadah haji. Kitab lain yang menjadi rujukan primer di kalangan santri maupun ulama internasional adalah dalam Musthalah al-Hadits. Karena konsistensi terhadap spesialisasi keilmuannya, ia lebih banyak menulis kitab kitab Musthalah al-Hadits ketimbang bidang Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, 164. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 Syeikh Mahfudz juga dikenal seorang ahli dalam hadits Bukhari. Beliau memiliki mata rantai keilmuan yang syah dalam transmisi intelektual pengajaran Shahih Bukhari. Ijazah tersebut berasal dari Syaikh Bukhari sendiri yang ditulis sekitar seribu tahun lalu dan diserahkan secara sanad melalui 23 generasi ulama yang telah menguasai karya Imam al-Bukhari. Syaikh Mahfudz sendiri merupakan mata rantai terakhir pada waktu seorang musnid dan muhaddits, ulama kelahiran Termas ini memperoleh legitimasi untuk mentransfer koleksi hadits tidak hanya dari al-Bukhari, tetapi juga dari para pemberi ijazah lainnya seperti Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majjah, al-Muwatta Imam Malik bin Anas, Musnad Imam Syafi’i, Musnad Imam Abu Hanifah, Musnad Ahmad bin Hanbal dan sebagainya. Dari Syeikh Mahfud lah Hasyim Asy’ari mendapat sanad keilmuan menjadi ulama ahli hadits di Tanah Air dan berhak mengajarkan kitab Shahih Bukhari kepada para santrinya. Bahkan Khalil Bangkalan yang dulu menjadi gurunya sewaktu nyantri di Madura pun berguru ilmu hadis kepada Hasyim Asy’ Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi Syeikh Khatib adalah pelopor gerakan pembaharuan di Minangkabau. Ia menebar pemikirannya yang berasal dari Makkah pada masa 20 tahun terakhir dari abad yang lalu sampai 10-15 tahun pertama abad ini. Syeikh Khatib dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 M di kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat. Ia memperoleh pendidikannya di sekolah rendah yang didirikan oleh pemerintah tahun 1876, ia pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama hingga kemudian mencapai kedudukan tertinggi dalam mengajarkan agama Islam, yaitu sebagai Imam dari mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Meski tak pernah kembali ke daerah asalnya, tetapi ia memiliki relasi yang kuat dengan daerah asalnya melalui ibadah haji Baiatul Rozikin and Other, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, 246. Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942 Jakarta LP3ES, 1991, 38. DOI// dan orang-orang yang belajar kepadanya. Pada akhirnya mereka yang belajar itu menjadi guru di daerah asal masing masing. Sebagai Imam yang bermazhab, Syeikh Khatib tidak pernah melarang muridnya untuk membaca dan mempelajari pemikiran Muhammad melarang karena tokoh Abduh kerap mengkritik ajaran madzhab, Syeikh Khatib justru ulama yang memberi izin kepada Hasyim Asy’ari untuk mempelajari pemikiran Abduh seperti terdapat dalam majalah Al-Urwat lain bagi Syeikh Khatib adalah mengenai permasalahan di Minangkabau. Syeikh Khatib terkenal sangat keras menolak dua macam kebiasaan yang ada di masyarakat Minangkabau pada waktu itu. Ia begitu menentang tarekat Naqshabandiyah yang banyak dipraktikkan masyarakat setempat dan menentang peraturan peraturan adat perihal dasar itu, Syaikh Khatib dikenal sebagai tokoh yang kontroversial. Di satu pihak tidak menyetujui buah pikiran Muhammad Abduh yang menganjurkan umat Islam melepaskan diri dari mazhab Imam Empat, tetapi di sisi lain ia menyetujui gerakan pembaharuan yang ingin melenyapkan segala bentuk praktek tarekat. terlepas dari itu, Syeikh Khatib adalah salah satu ulama yang banyak mempengaruhi pandangan keagamaan Hasyim Asy’ari; ulama tradisionalis yang menyuburkan tarekat yang dianggap muktabar di Indonesia. E. Relasi Intelektual Hasyim Asy’ari dan Tradisionalisme Setelah mengetahui genealogi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari, pada pembahasan berikut ini akan segera nampak bahwa konstruksi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari dibangun atas pondasi pemikiran tradisionalisme al-Ghazali Noer, Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942, 39. Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, 95. Abidin Ibnu Rusd, Pemikiran Al- Ghazali Tentang Pendidikan Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, 9. Pemikiran pendidikan al-Zarnuji terangkum dalam karya monumentalnya yaitu kitab Ta’lim Wa Al-Muta’alim. Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru Dan Murid Telaah Atas Pemikiran Al-Zarnujidan KH Hasyim Asy’ari Yogyakarta Teras, 2007, 46. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 ini karena Hasyim Asy’ari dianggap sebagai penerus estafet tradisionalisme Islam di Indonesia, selain karena kekeramatan dan kebesaran namanya, pemikiran Hasyim Asy’ari tak lain adalah representasi dari ajaran Islam tradisionalis. Tuduhan a posteriori ini semakin kentara ketika menilik gagasan utama kitab Adabul al Alim wa Muta’alim yang membahas masalah pendidikan adab dan etika dalam mencari ilmu bagi peserta didik dan pendidik. Dalam kitab itu, pemikiran Hasyim Asy’ari terlihat mempunyai kemiripan dengan Syeikh al-Zarnuji, pengarang kitab Ta’lim Muta’alim. Kemiripan itu terlihat dari muqadimah tentang keutamaan hingga konsepsi tujuan manusia dalam menuntut ilmu. Mengenai bab muqadimah, baik al-Zarnuji maupun Hasyim Asy’ari keduanya mengutip hadis terkenal tentang ilmu yaitu “ţalabul ilmi faridatun ala kulli muslimin wal muslimat.” Kemudian terkait tujuan pendidikan atau menuntut ilmu Hasyim Asy’ari sangat menekankan orientasi untuk mencapai ridho Ilahi, yaitu untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. Niat mencari ilmu menurut Hasyim Asy’ari tidak boleh “ternodai oleh motivasi-motivasi yang bersifat duniawi.” Orientasi tentang niat menuntut ilmu yang lurus ini juga diungkapkan oleh al-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’alim, bahwa “ilmu sangat penting untuk sarana taqwa.” Karena dengan taqwa manusia dapat menerima kedudukan yang terhormat di sisi Allah. Lebih jauh, ilmu yang ditekankan untuk dipelajari menurut al-Zarnuji adalah ilmu agama. Karena ilmu agama adalah ilmu yang paling lurus untuk dikaji. Kitab Ta’lim Wa Al-Muta’alim memuat tiga belas pasal, pertama, menerangkan hakikat ilmu, hukum mencari ilmu, dan keutamaannya; kedua, niat dalam mencari ilmu; ketiga, cara memilih ilmu, guru, teman dan ketekunan; keempat, cara menghormati ilmu dan guru; kelima, kesungguhan dalam mencari ilmu, beristiqamah dan cita-cita yang luhur; keenam, ukuran dan urutannya; ketujuh, tawakal; delapan, waktu belajar ilmu; sembilan, saling mengasihi dan menasehati; sepuluh, mencari tambahan ilmu pengetahuan; sebelas, bersikap wara’ ketika menuntut ilmu; dan terakhir, hal-hal yang dapat menguatkan hafalan dan yang melemahkannya Syeikh Al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Terj. Abdul Kadir Aljufri Surabaya Mutiara Ilmu, 1995, 3. Asy’ari, Adab al-Alim Wa al-Muta’Allim Fi Ma Yahtaju Ilaihi al-Muta’allim Fi Ahwal Ta’limihi Wa Ma Yatawaqqafu’ Alaihi Al Mu’Allim Fi Maqāmātihi Ta’limihi, 19. Al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Terj. Abdul Kadir Aljufri, 6–7. DOI// Selain itu, dalam kitab Adabul Alim wa Muta’alim, Hasyim Asy’ari mengungkapkan beberapa makanan yang sebaiknya dihindari oleh pelajar lantaran dapat menyebabkan akal seseorang menjadi tumpul dan melemahkan panca indera. Jenis-jenis makanan tersebut diantaranya; buah apel yang asam, aneka kacang kacangan dan cuka. Hasyim Asy’ari juga menekankan untuk menghindari makanan yang cepat menambah berat badan dan mengandung banyak kolestrol, seperti mengkonsumsi susu dan ikan terlalu banyak. Pelajar dianjurkan menjauhi hal-hal yang dapat menjadikannya cepat lupa seperti memakan makanan dari bekas gigitan tikus, membaca tulisan batu nisan, berjalan di antara dua ekor unta yang sedang berjalan dan membuang seekor kutu dalam keadaan pendidikan Hasyim Asy’ari yang tradisionalisme-konservatif di atas juga ditemui dalam kitab Ta’lim Muta’alim karya al-Zarnuji dalam poin perihal yang menyebabkan lupa. Hal-hal yang menyebabkan lupa adalah makan ketumbar basah, makan apel asam, melihat orang yang dipancung, membaca tulisan di kuburan, melewati barisan unta, membuang ketombe hidup di tanah dan cantuk melukai bagian tengkuk kepala untuk menghilangkan pusing. Kemudian al-Zarnuji juga menjelaskan kebiasaan yang dapat menyebabkan kefakiran seperti menulis dengan pena yang diikat, menyisir rambut dengan sisir yang retak, tidak mau mendoakan kedua orang tua, mengenakan sorban dengan duduk, mengenakan celana dengan berdiri dan pemikiran di atas membuktikan bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari senafas dengan al-Zarnuji. Lebih jelas lagi bahwa mereka adalah pemikir tradisionalis, segala aspek yang berkaitan dengan perumusan pendidikan tidak bisa terlepas dari nuansa keagamaan yang bersifat tradisionalis-madzhabi dan cenderung memandang hitam-putih atas segala sesuatu fiqh sentris. Dengan demikian, nampak sekali bahwa posisi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari, Adab Al-Alim Wa Al-Muta’Allim Fi Ma Yahtaju Ilaihi Al-Muta’allim Fi Ahwal Ta’limihi Wa Ma Yatawaqqafu’ Alaihi Al Mu’Allim Fi Maqāmātihi Ta’limihi, 25. Al-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’alim, Terj. Abdul Kadir Aljufri, 96. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 Asy’ari lebih dekat dengan aliran essenialisme ketimbang dan Hasyim Asy’ari sepakat bahwa penghormatan kepada guru merupakan sesuatu tidak dapat ditawar. Keduanya memandang bahwa posisi guru yang mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan merupakan bapak spiritual. Dengan demikian kedudukan guru sangat terhormat. Lantaran jasa guru, seorang murid dapat mencapai ketinggian spiritual dan keselamatan dunia-akhirat. Seorang guru di samping harus menguasai materi yang diajarkan juga harus memiliki sifat-sifat tertentu yang apabila diberikan kepada muridnya dapat didengar dan dipatuhi, tingkah lakunya juga dapat ditiru dan lain gagasan pemikiran pendididikan Hasyim Asy’ari dan al-Zarnuji terletak pada sikap mengedepankan religious ethics dalam proses belajar mengajar. Untuk memperoleh al-ilmunafi’ harus dengan menggunakan akhlak dalam prosesnya. Tanpa akhlak, keberhasilan pendidikan tidak sampai kepada aspek immaterial-spiritual, tetapi hanya material-artifisial. Proses pembelajaran selain harus diawali dengan niat yang lurus juga harus menyertakan akhlak dalam dinamika pembelajarannya. Hasyim Asy’ari juga menghendaki adanya penghormatan yang sama balance antara guru dan muridnya. Sedangkan dalam pemikiran al-Zarnuji terlihat adanya relasi liniear dimana seorang murid harus menghormati gurunya tanpa reserve atau memberikan konsep penghormatan murid kepada guru, al-Zarnuji juga menekankan penghormatan kepada kitab atau buku sebagai sumber ilmu. Ia bependapat bahwa sebagian dari mengagungkan ilmu adalah mengagungkan kitab. Karenanya seseorang tidak boleh mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Ilmu adalah cahaya, begitu juga dengan wudhu, sedangkan cahaya ilmu tidak akan betambah kecuali dengan berwudhu. Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam Jakarta Raja Grafindo Persada, 2012, 26. Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru Dan Murid…, 74–75. DOI// Terakhir, titik persamaan pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari dengan al-Zarnuji ialah mengenai adanya evaluasi. Hasyim Asy’ari dalam konsepnya menekankan adanya evaluasi dimana guru bertindak sebagai evaluator of student learning. Hal ini seperti dikemukakan dalam kitab Adab al Alim bab ke tujuh tentang adab guru terhadap muridnya. Pada poin keenam, terdapat pembahasan guru mengevaluasi peserta didiknya dalam bentuk pemberian pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik melalui latihan, ujian dan semacamnya yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman mereka dalam menyerap materi yang telah guru itu, hal-hal yang menjadi diferensiasi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari dan al-Zarnuji ialah bahwa dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim tidak terdapat pembahasan yang allogical, yaitu pembahasan yang tidak dapat dicerna oleh akal semata sebagaimana terdapat dalam kitab Ta’lim Muta’alim al-Zarnuji. Pembahasan allogical ini diantaranya adalah adanya amalan-amalan tertentu dengan membaca kalimat thayyibah yang dapat melancarkan rizki bagi pencari ilmu. Pembahasan semacam ini tidak dapat dicerna melalui aspek logika semata, akan tetapi harus melalui aspek tersebut dapat di lihat dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim pada bab terakhir tentang hal yang mempermudah datangnya rizki. Selain mempunyai kesamaan pemikiran pendidikan dengan al-Zarnuji dari isi kitabnya, Hasyim Asy’ari juga mengikuti pemikiran al-Ghazali dalam merumuskan pemikiran pendidikannya. Di akhir hidupnya, tokoh bergelar hujjatul islam itu memilih jalan tasawuf untuk mengobati keresahan konflik batinnya dengan mengarang sebuah karya monumental yang berisi nasehat kehidupan Ihya Uluumudin. Menurut al-Ghazali pendidikan dalam prosesnya Asy’ari, Adab Al-Alim …, 88. Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru Dan Murid …, 84. Kitab ini hakikatnya berisi seruan bagi dihidupkannya kembali tasawuf. Al-Ghazali tidak memusuhi prinsip-prinsip hukum Islam, akan tetapi menafsirkan kembali hukum itu sebagai sarana dan petunjuk bagi ruhani untuk memperoleh keselamatan dengan memperoleh bagian dalam rahasia Illahi. Dan hal ini hanya didapat melalui kerinduan dan kecintaan sepenuhnya kepada Allah. Nurcholish Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 haruslah mengarah pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia mencapai tujuan hidupnya; bahagia dunia-akherat. Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Dalam kitab Ayyuhal Waladal-Ghazali juga menerangkan bagaimana kriteria seorang guru dan juga seorang pelajar dalam mencari ilmu. Menurut al-Ghazali, ultimate goal pendidikan dalam prosesnya harus mengarah pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan kebahagiaan duniawi-eskatologi. Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam direksi inilah al-Ghazali menganggap pentingnya pendidikan agar manusia berilmu, yaitu ilmu yang diamalkan dalam kehidupan. Bukan untuk mendapatkan pujian atau hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan amal yang dilandasi keikhlasan karena mencari ridha ridha Allah dan tidak ternodai oleh unsur keduniawian dalam tujuan pendidikan itulah titik petemuan pemikiran Hasyim Asy’ari dan al-Ghazali. Gagasan pendidikan al-Ghazali membahas bagaimana hakikat ilmu nafi’ seperti dibahas dalam kitabnya Ayyuhal Walad. Awal mula disusunnya kitab ini adalah nasehat untuk murid al-Ghazali yang meminta ditunjukkan mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan Jakarta Paramadina, 1997, 52. Risalah kitab Ayyuhal Walad terdiri dari pendahuluan dan 6 bab. Bagian pendahuluan berisi tentang nasehat dan perdebatan filosofis tentang tujuan ilmu dan ketertarikan antara ilmu dan amal. Bab pertama, Al-Ghazali bercerita tentang i’tiqad yang benar, taubat, menghindari perdebatan kusir dalam ilmu pengetahuan serta pemerolehan ilmu-ilmu syariah. Bab kedua, berisi tentang amal saleh, pensucian jiwa dan menganggap rendah dunia dengan melakukan ibadah, pembersihan jiwa dari sifat serakah, serta anjuran untuk memerangi setan. Bab ketiga membahas pendidikan sebagai sarana menghilangkan kebiasaan buruk dalam jiwa dan mengisinya dengan akhlak yang baik. Sedangkan bab keempat, berisi kode etik guru yang hampir sama dengan apa yang diungkapkan dalam Ihya Ulumuddin. Kemudian bab kelima, berisi tentang karakteristik seorang sufi yang sebenarnya, syarat-syarat beristiqomah kepada Allah dan hubungannya dengan makhluk. Bab terakhir, Al-Ghazali mengakhirinya dengan sejumlah nasehat yang diberikan kepada anak didik. Diantaranya adalah anjuran untuk Syamsul Kurniawan and Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Jakarta Ar Ruzz Media, 2013, 96–97. Kurniawan and Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, 92. DOI// Bagi mereka yang thalabul ilmi hanya untuk pengetahuan, sibuk untuk kenikmatan diri dan keindahan dunia, maka ilmu mereka tidak akan bermanfaat. Justru akan muflis merugi dalam amal dan sepi dalam Ayyuhal Walad al-Ghazali juga menerangkan tentang tikrorul ilmu atau mengulangi mempelajari ilmu dan muthola’ah kitab. Dalam poin ini al-Ghazali menegaskan tentang tujuan ilmu jika untuk memperoleh dan mengumpulkan harta dunia, serta menghasilkan pangkat dan mengungguli orang-orang, maka orang tersebut benar-benar merugi. Tetapi jika tujuan menuntut ilmu adalah menghidupkan syariat nabi, membersihkan akal budi serta memerangi nafsu yang selalu mengajak untuk berbuat kesesatan, maka keberuntungan yang akan pembahasan tentang niat dan tujuan dalam menuntut ilmu, al-Ghazali menyinggung bagaimana seorang murid dalam mencari guru yaitu seorang guru yang mursyidun dan murobbin. Menurut al-Ghazali, tarbiyah itu seperti pekerjaan petani yang menghilangkan duri, dan mencabuti tumbuhan pengganggu sehingga tanamannya sempurna hasilnya. Seorang murid harus memiliki guru yang mengajarkan adab dan menunjukkan jalan kebenaran. Disini seorang guru diibaratkan sebagai khalifah pengganti rasulululllah, oleh karena itu tidak sembarangan dalam memilihnya. Syarat seorang guru adalah alim, tetapi tidak setiap alim bisa menjadi mursyid yang dikehendaki untuk membimbing muridnya selain alim juga berperilaku bagus, riyadhoh dengan makan, ucapan dan minuman yang sedikit, memperbanyak melakukan sholat, shodaqoh dan puasa. Memiliki sifat sabar, syukur, tawakkal, yakin, qona’ah, ketenangan jiwa, bijaksana, jujur, haya’, wafa’, ketenangan dalam berbuat, tidak tergesa-gesa dan sifat-sifat terpuji lainnya. Maka guru yang seperti ini menurut al-Ghazali ibarat anwaarunnabi yang patut diikuti, namun wujudnya sendiri sangat langka. Jika seorang Al-Ghazali, Ayyuhal Walad Surabaya Al-Hidayah, 1. Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 murid mempunyai guru tersebut dan mengikutinya, maka akan memiliki akhlak yang seorang murid yang telah memperoleh guru atau mursyid maka ia harus mengormatinya secara dzahir dan batin. Memuliakan secara dzahir adalah dengan tidak membantahnya, dan tidak membuat hujjah dalam setiap masalah, walaupun mengetahui kesalahan gurunya. Murid juga tidak boleh meletakkan sajadah di hadapannya kecuali pada waktu sholat, itupun ketika selesai langsung mengangkatnya. Tidak melakukan sholat sunnah di hadapannya, melakukan perintah gurunya sesuai kemampuan dan kekuatannya. Sedangkan menghormati secara batin yaitu setiap yang diterima dan didengar dari gurunya secara zhohir tidak diingkari di dalam batin baik dalam ucapan ataupun uraian di atas, penulis menganalisis bahwa secara genealogis memang terdapat kesamaan antara gagasan pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari, al-Zarnuji dan al-Ghazali. Kesamaan itu terlihat pada niat dan tujuan menuntut ilmu, yakni semata mengharap ridho Allah dan menghidupkan syariat. Selanjutnya mereka juga sama-sama membahas tentang syarat-syarat seorang guru yang wajib dijadikan mursyid serta keutamaan menghormati guru dan mengikutinya. Cara bersikap dan memperlakukan seorang guru juga sama-sama di singgung. Akan tetapi, penulis menganalisis bahwa pembahasan bagaimana etika seorang guru terhadap murid hanya penulis temukan di pemikiran pendidikannya Hasyim Asy’ari. Dalam pemikiran al-Ghazali dan al-Zarnuji penulis tidak menemukannya secara rinci. Maka dapat di simpulkan bahwa memang pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari selain membahas tentang keutamaan ilmu seperti dua tokoh pemikir pendidikan tradisionalis di atas, Hasyim Asy’ari juga memfokuskan bagaimana seharusnya adab seorang guru dan murid. Jadi, etika seorang guru terhadap murid bagi Hasyim Asy’ari juga penting untuk diterapkan dalam proses pendidikan. DOI// F. Kesimpulan Genealogi pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari dipengaruhi oleh guru-guru yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Ketajaman intelektualitas guru-gurunya tidak hanya kondang di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat internasional. Para guru inilah yang mendidik dan membentuk kepribadian Hasyim Asy’ari. Guru-guru Hasyim adalah para ulama Sunni dan bertarekat meskipun ada juga yang anti tarekat, yaitu Syaikh Akhmad Khatib Minangkabau yang cenderung reformis. Sementara guru-guru yang pro tarekat adalah Kiai Khalil Bangkalan, Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Mahfudz at-Tirmisi yang juga ahli dalam bidang hadis. Pola pikir Hasyim juga banyak diwarnai oleh ulama mazhab ahlusunnah wal jama’ah dalam hal ini lebih condong kepada Syafi’i. Selanjutnya relasi intelektual pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran pendidikan Islam tradisionalis yang dalam hal ini dipengaruhi oleh pemikiran pendidikan al-Ghazali dan al-Zarnuji. Hal ini nampak dalam karyanya Adabul al-Alim wa Muta’alim, Hasyim Asy’ari banyak mengutip maqolah para ulama salaf. Bahkan, hampir gagasan kitab Adabul al-Alim merupakan gagasan sinkretis atas kitab Ta’lim al-Muta’alim karangan al-Zarnuji dan kitab Ayyuhal Walad karangan al-Ghazali. Kedua kitab tersebut sangat menekankan mardatillah dalam tujuan mencari ilmu. Begitu juga dalam konsep metodologi dan epistemologi dalam mencari ilmu yang menekankan adab dalam keberhasilan pelajar dalam belajar. [.] Genealogi Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari Analisis Jurnal Studi Keislaman, Volume 19, No. 1, Juni 2019 Referensi Abdussami, Humaidy, and Ridwan Fakla AS. Biografi 5 Rais Am Nahdlotul Ulama. Yogyakarta LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1995. Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung Mizan, Al-Ghazali. Ayyuhal Walad. Surabaya Al-Hidayah, Al-Zarnuji, Syeikh. Ta’lim Al-Muta’alim, Terj. Abdul Kadir Aljufri. Surabaya Mutiara Ilmu, 1995. Anam, Khairul, and other. EnsiklopeIa Nahdlatul Ulama Sejarah Tokoh Dan Khazanah Pesantren. Jakarta Mata Bangsa dan PBNU, 2014. Arifi, Ahmad. Pergulatan Pemikiran Fiqih “Tradisi” Pola Mazhab. Yogyakarta Elsaq Press, 2010. Asy’ari, Hasyim. Adab al-Ālim Wa al-Muta’allim Fī Mā Yaḥtāju Ilaihi Al-Muta’allim Fi Ahwal Ta’limihi Wa Ma Yatawaqqafu’ Alaihi Al Mu’Allim Fi Maqāmātihi Ta’limihi. Jombang Maktabah At Turats Islami, Attas, Syed Muhammad al-Naquib al-. Islam Dan Sekularisme. Translated by Karsidjo Djojosuwarno. Bandung Ganesha, 1981. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta Kencana Prenadamedia group, 2013. Baiatul Rozikin, and Other. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta e-Nusantara, 2009. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta LP3ES, 1994. Ghofir, Jamal. Biografi Singkat Ulama Ahlusunnah Wal Jama’ah Pendiri Dan Penggerak NU. Yogyakarta GP Ansor Tuban, 2012. Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta LKIS, 2009. DOI// Kiki, Rakhmad Zailani. Genealogi Intelektual Ulama Betawi Melacak Jaringan Ulama Betawi Dari Awal Abad Ke-19 Sampai Abad Ke-21. Jakarta Islamic Center, 2011. Kurniawan, Syamsul, and Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta Ar Ruzz Media, 2013. Latif, Yudi. Intelegensia Muslim dan Kuasa Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung Mizan, 2005. Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta Paramadina, 1997. Maragustam. Pemikiran Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani. Yogyakarta Datamedia, 2007. Mas’ud, Abdurrahman. Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2006. Misrawi, Zuhairiwi. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan Dan Kebangsaan. Jakarta Kompas, 2010. Muhaimin. Pemikiran Dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2012. Muqowim. Genealogi Intelektual Saintis Muslim Sebuah Kajian Tentang Pola Pengembangan Sains Dalam Islam Pada Periode Abbasiyyah. Jakarta Kementrian Agama RI, 2012. Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta LP3ES, 1991. Rifai, Muhamad. Hasyim Asy’ari Biografi Singkat 1871-1947. Jakarta Ar Ruzz Media, 2010. Rusd, Abidin Ibnu. Pemikiran Al- Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998. Shihab, Alwi. Islam Sufistik. Bandung Mizan, 2001. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta Bulan Bintang, 1984. Sya’roni. Model Relasi Ideal Guru Dan Murid Telaah Atas Pemikiran Al-Zarnujidan KH Hasyim Asy’ari. Yogyakarta Teras, 2007. Wahid, Salahudin. Transformasi Pesantren Tebuireng Menjaga Tradisi Di Tengah Tantangan. Malang UIN Maliki Press, 2011. Asyrifah Luthfiana AzmiNurun Nisaa BaihaqiAidah Mega KumalasariTartib nuzuli ataupun memahami Al- Quran menurut kronologi turunnya wahyu ialah salah satu tata cara penafsiran Al- Quran yang tidak sering dibahas oleh para ulama. Di antara ulama yang peduli dengan konsep ini merupakan Angelika Neuwirth. Tartib nuzuli yang dikembangkan oleh Neuwirth bisa memberikan kontribusi untuk kajian Al- Quran. Untuk sampai pada gagasan Newworth, riset ini memakai jenis riset kualitatif serta teori genealogi. Hasil riset menunjukkan bahwa Neuwirth menekankan perlunya perlengkapan hermeneutik guna menghidupkan Al- Quran pasca- kanonik sesuai dengan kronologinya. Dengan memakai pendekatan sastra dan sejarah, Al- Quran dianalisis secara sinkronis dan diakronis melalui kerangka waktu diawali dengan fase pra- Sabda di Mekah. Berikutnya, Al- Quran dianalisis dari segi unit abjad serta intertekstualitas. Pemikiran Neuwirth tentang marginalisasi yakni kritiknya terhadap riset akademis yang berfokus pada teks- teks pasca- editing daripada menyampaikan aspek- aspek pra- kanonisasinya.. Meskipun terdapat kekhawatiran kanonisasi, sebagian tokoh Barat masih menciptakan alasan sensitif, dan tokoh Muslim yang tidak serta merta memakai tartib nuzuli selaku tata cara menafsirkan Al- Quran. Aspek ideologis Neuwirth antara lain Awal, ketertarikan awal mulanya pada Al- Quran, sastra, serta sejarah. Kedua, dipengaruhi oleh guru seperti Profesor. Anthony dengan demikian menambah minatnya untuk menekuni Al- Quran. Ketiga, dipengaruhi oleh pemikiran tokoh- tokoh lebih dahulu, yang juga menitikberatkan pada konsep kronologi al- Quran. Salah satu implikasi dari gagasan Neuwirth merupakan Pertama, dia menawarkan bermacam metode interpretasi. Kedua, membuka diskusi yang lebih terbuka serta ilmiah. Ketiga, mengambil pendekatan jalan tengah terhadap Al- Quran. Keempat, Corpus Coranicum dibangun sebagai aksi pemikiran yang paper examines Hasyim Asy'ari's concept of walāya sainthood by directly exploring his works such as Al-Durar al-Muntaṭirah fī Masā'il al-Tis'a 'Asharah, Ādāb Al-Ālim Wa Al-Muta’alim, and Tamyīz al-Haqq min al-Bāṭil. The reason for writing his books on Sufism is the phenomena of misunderstandings and deviations in the teachings of Sufism, especially among tarekat groups. This article is library-based research and the data are collected by applying documentary techniques; referring to books, journal articles, and other published materials. The data were then analyzed using the descriptive-analytical method. This study reveals that the concept of sainthood of Hasyim Asy’ari was influenced by the views of classical Sufis, among others, is al-Qusyairi. Generally, his understanding is similar to those of authoritative Sufis. According to him, walī is a person very close to God and he is protected from doing immoral acts. For that matter, a person who ignores the Shari'a Islamic law is not walī. In fact, a true walī will not reveal himself to be a walī, even if he Nahdlatul Ulama Sejarah Tokoh Dan Khazanah Pesantren. Jakarta Mata Bangsa dan PBNUKhairul AnamOtherAnam, Khairul, and other. EnsiklopeIa Nahdlatul Ulama Sejarah Tokoh Dan Khazanah Pesantren. Jakarta Mata Bangsa dan PBNU, Pemikiran Fiqih "Tradisi" Pola MazhabAhmad ArifiArifi, Ahmad. Pergulatan Pemikiran Fiqih "Tradisi" Pola Mazhab. Yogyakarta Elsaq Press, Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam IndonesiaAzyumardi AzraAzra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta Kencana Prenadamedia group, Baiatul RozikinBaiatul Rozikin, and Other. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta e-Nusantara, Singkat Ulama Ahlusunnah Wal Jama'ah Pendiri Dan Penggerak NU. Yogyakarta GP Ansor TubanJamal GhofirGhofir, Jamal. Biografi Singkat Ulama Ahlusunnah Wal Jama'ah Pendiri Dan Penggerak NU. Yogyakarta GP Ansor Tuban, Intelektual Ulama Betawi Melacak Jaringan Ulama Betawi Dari Awal Abad Ke-19 Sampai Abad Ke-21Rakhmad KikiZailaniKiki, Rakhmad Zailani. Genealogi Intelektual Ulama Betawi Melacak Jaringan Ulama Betawi Dari Awal Abad Ke-19 Sampai Abad Ke-21. Jakarta Islamic Center, KurniawanErwin MahrusKurniawan, Syamsul, and Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta Ar Ruzz Media, Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek PesantrenAbdurrahman Mas'udMas'ud, Abdurrahman. Dari Haramain Ke Nusantara Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta Kencana Prenada Media Group, Dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta Raja Grafindo PersadaMuhaiminMuhaimin. Pemikiran Dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta Raja Grafindo Persada, Saintis Muslim Sebuah Kajian Tentang Pola Pengembangan Sains Dalam Islam Pada Periode AbbasiyyahMuqowimGenealogiMuqowim. Genealogi Intelektual Saintis Muslim Sebuah Kajian Tentang Pola Pengembangan Sains Dalam Islam Pada Periode Abbasiyyah. Jakarta Kementrian Agama RI, 2012.
sanad keilmuan kh hasyim asy ari